Jiwa yang Telah Tunai Terbeli

Dusun Dzi Amarra, suatu hari ketika di bulan Rabiul Awwal selepas Perang Badar tiba. Empat ratus lima puluh orang pasukan kaum muslimin berbaris berlapis-lapis. Berdiri tegap. Senjata tergenggam di tangan. Siap tempur. Syahid yang selalu hendak diraih kini serasa di hadapan. Pintu surga seakan sudah dibuka di depan mata.

Lelaki kinasih itu kemudian mengatur barisan serapi-rapinya laksana tegak dalam shaf shalat. Demi mengetahui hal itu, Bani Muharib dan Bani Tsa'labah yang telah berpadu hendak memadamkan terang cahaya Madinah seketika lari terbirit ke atas gunung. Tak disangka begitu cepat pasukan muslimin itu datang ke dusun mereka dipimpin langsung oleh lelaki agung itu. Tak mencari hidup, justru menyongsong malaikat maut.

Namun, hujan lebat tiba-tiba bagai dimuntahkan dari langit! Deras mengguyur bumi. Membasahi setiap jengkal tanah, juga helai daun-daun. Bumi yang kering seketika basah. Debu melayang-layang seketika hilang. Bau tanah kering pun telah berubah menjadi lembab. Dan lelaki itu beserta segenap pasukannya pun basah kuyup.

Tatkala hujan reda dan matahari kembali sayup bersinar, mereka kemudian sibuk menjemur pakaian masing-masing. Lelaki itu menjemur pula pakaiannya sembari berbaring dibawah sebatang pohon. Seorang diri. Dan tak seorang anggota pasukan pun menyadari ketika sebuah bayangan berkelebat, bergerak ke arah lelaki itu. Seseorang telah menyamar mendekati tempat berbaring pimpinan pasukan itu dari arah belakang. Perlahan-lahan. Diam tak berbisik. Beringsut merapat dan semakin rapat. Sebilah pedang tajam pun telah terhunus berkilat-kilat di tangan.

Secepat kilat, pedang yang telah terlepas dari sarungnya itu kini teracung ke arah kepala lelaki yang sedang terbaring itu.

"Siapakah yang akan menghalangi engkau dariku hari ini, hai Muhammad?"gertak sosok penyelinap itu penuh kesombongan. Orang yang selama ini ditakutinya itu, kini hanya berjarak sejengkal saja dari ujung pedangnya. Dunia serasa ada didalam genggamannya. Hanya dengan sekali tebas, maka pasti robohlah lelaki itu. Dan namanya segera terkenal seantero jazirah Arab.

"Allah!" jawab lelaki itu dengan jelas dan tenang. Tak ada sepotong ketakutan pun pada rona wajahnya. Tak ada kepanikan tersirat pada gerak tubuhnya. Energi yang begitu besar seperti mengelilingi dirinya. Melindungi dirinya. Begitu rupa. "Allah!"

Du'tsur terperanjat. Seluruh sendi tubuhnya bergetar hebat demi mendengar jawaban yang hanya sepatah kata itu. "Allah!" Hanya sepatah kata, yang tak pernah terbayangkan bakal keluar dari mulut lelaki yang nasibnya sudah ada dalam genggamannya itu. Tangannya gemetar dan seketika lunglai tak berdaya. Pedangnya memberat serupa gunung Uhud diletakkan di ujungnya. Senjata itu pun kemudian jatuh terkulai ke atas tanah.

Rasulullah pun secepat kilat bangkit, mengambil pedang Du'tsur yang tergolek, dan kini mengacungkannya balik ke arah tuannya sendiri. Pedang itu berkilat hanya sejengkal dari kulit wajah penyelinap itu. Dengan sekali tebas, kepalanya tentu akan segera menggelinding dan darahnya yang muncrat akan memerahkan tanah yang masih basah.

"Siapakah kini yang melindungi engkau dariku, hai Kisanak?" lelaki Bani Hasyim itu kini balik bertanya dengan pertanyaan yang sama padanya.

Du'tsur merasa riwayatnya tiba-tiba saja telah usai. Kini ia bergetar sangat hebat bagai diguncang hujan badai. Wajahnya pun berubah pasi seputih kapas di musim panas yang terik. Maut serasa sudah bertengger di ubun-ubunnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya melebihi guyuran hujan. Dan ia kini kelu, tak memiliki sepatah jawaban apapun di bawah acungan pedangnya sendiri.

***

Membeli dikatakan sebagai "to acquire possession, ownership, or rights to the use or sevise by payment of money." Mendapatkan hak milik untuk menggunakan sesuatu dengan cara membayarnya, biasanya dengan uang. Proses itulah yang biasa kita sebut sebagai jual-beli atau perniagaan.

Seorang pembeli akan mendapatkan barang yang dibelinya setara dengan harga yang ia bayar. Sungguh mustahil ada seorang pembeli yang secara ikhlas mau membeli suatu barang dengan harga berlipat-lipat. Kalaupun itu ada, tentu ia sedang "membeli" nilai instrinsik yang tak bisa dinilai di balik barang itu. Membeli barang bernilai seni tingkat tinggi misalnya. Kita kadang tak mudah percaya sebuah lukisan diatas kanvas sebagaimana jamaknya bisa bernilai ratusan juta rupiah.

Namun, semua itu masih dalam batas wajar untuk sebuah transaksi jual-beli. Kalupun penjual mengambil untung dalam sebuah transaksi perniagaan, sedikit ataupun banyak, itu adalah sesuatu yang jamak adanya. Busines as usual. Dan memang untuk itulah sebuah perniagaan dilakukan. 

Jika ada transaksi jual-beli, dimana barang yang dibeli bahkan tidaklah sepadan sama sekali dengan harga yang harus dibayar, pastilah itu sebuah transaksi yang luar biasa. Dan tentu luar biasa pula sang pembelinya. Karena hal itu tidaklah akan pernah terjadi kecuali sang pembeli memiliki kekayaan yangtak terukur dan tak berbatas.

Adakah perniagaan semacam itu? Ada! dan sesungguhnya, transaksi jual beli itu bahkan sudah terjadi. Sudah terjadi? Ya. Transaksi itu telah berlangsung antara Al-Ghaniy, Yang Maha Kaya, sebagai pembeli dan orang-orng mukmin sebagai penjual. Untuk sekadar membeli diri dan harta orang-orang mukmin, Ia, sang pembeli itu, telah menukarnya dengan surga, yang luasnya seluas langit dan bumi dan kenikmatan di dalamnya berlangsung tak pernah putus dan henti (Qs. At-Taubah (9) : 111).

Ini adalah sebuah transaksi jual beli yang sama sekali tak berimbang. Ironisnya, sang penjual dan itu tak lain adalah diri kita sendiri- tak semua menyadari bahwa diri dan harta kita telah terbeli. Diri dan harta kita sebenarnya sudah bukan milik kita lagi. Itu berarti, kapan saja Sang Pembeli yang telah mengambil alih ownership atas diri dan harta kita itu berkehendak mengambil milik-Nya, tak ada hak lagi untuk menolak apapun yang Ia kehendaki.Yang bisa kita lakukan sebenarnya dan seharusnya hanyalah pasrah kepadanya.

Jika kita mau berjuang di atas jalan-Nya, baik menang maupun gugur didalamnya, surga sudah akan berada di tangan sebagaimana Ia janjikan.

Hanya mereka yang menyadari posisi inilah yang bisa bersikap begitu tenang menghadapi situasi apapun. Bahkan ketika jiwanya terancam sekalipun. Karena, dirinya sudah tunai terbeli dan bukan miliknya lagi.

***

"Siapakah kini yang akan melindungi engkau dariku, hai Du'tsur?" 
"Tidak ada seorangpun, wahai Muhammad," jawab Du'tsur dalam gemetar yang sangat. Ia kemudian berucap, "Asyhadu an Laa ilaaha illallahu, wa asyhaduanna muhammadar rasulullah. Aku bersaksi bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya engkau adalah utusan-Nya."

Nabu SAW pun menurunkan acung pedangnya. Tangan yang mulia itu kemudian mengangsurkan senjata itu kepada tuannya. Laki-laki itu, Du'tsur ibnu al-Harts al-Ghatafany, menerimanya dengan rasa suka cita di antara ketakpercayaannya. Ia lalu kembali kepada anggota pasukannya yang sedang berada di atas gunung, memberitahukan apa yang sudah terjadi, dan menyeru mereka untuk mengikut seruan Nabi kepada ajaran yang benar.

Dan perang pun urung. Mereka berbondong lebih memilih perniagaan yangtak akan penah merugi.

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberika surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar
[Q.s At-Taubah (9) :111]


Referensi Bedah Buku:
Bahtiar. 2008. Jejak-jejak Surga Sang Nabi. Jakarta : Lingkaran Pena.

Comments

Popular posts from this blog

Talk Less Do More

Sombong!!