Cinta yang Tak Bertepi
"Ya Allah, Kepada engkaulah aku mengadukan kelemahan, kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku serta kehinaan bagi manusia. Ya Tuhan yang Maha Penyayang kepada orang-orang
yang berkasih sayang"
Kabut pasir! Hujan batu kerikil! Juga caci-maki!.
Anak-anak, hamba sahaya, pun para tetangga keluarga Amr bin Umair bin Auf ats-Tsaqafi berhamburan keluar rumah. Berbaris. Berjajar di sepanjang jalan dari rumah penguasa kota Thaif itu. Batu kerikil di tangan. Pasir berguguran dalam genggaman. Mulut-mulut berteriak penuh cacian. Mereka seperti berlomba melempar.
Dua orang lelaki tak berdaya tertatih dibawah hujan batu, kerikil, dan pasir serupa terseret didalam badai gurun sahara yang ganas.
Mereka melempar, mengarahkan batu-batu itu ke kaki Nabi Muhammad. Kedua kakinya luka menganga. Berdarah-darah. Lelaki yang agung itu bahkan sampai harus berjalan merangkak-rangkak menahan sakit. Zaid bin Haritsah yang menyertainya pun tak luput dari sasaran. Kepalanya luka parah berkucuran darah terkena lemparan batu. Sementara kerikil, batu dan pasir tak henti beterbangan dari tangan-tangan keluarga Bani Tsaqif itu, seperti mengusir gelandangan yang membuat kumuh desa mereka.
Caci maki dan ejekan terus berlangsung, hingga kedua lelaki itu sampai di sebuah kebun diluar kota. Mereka pun bubar. Nabi dan Zaid lalu berteduh di tempat itu. Menunggu luka terhenti dan mengering. Demi mengetahui jika kebun itu milik Utbah dan Syaibah bin Rabi'ah yang juga memusuhi beliau di Mekah, Rasul pun mengadu. "Ya, Allah! Kepada Engkaulah aku mengadukan kelemahan kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku dan kehinaan manusia, ya Tuhan yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang berkasih sayang."
Abu Thalib baru saja wafat. Hanya berselang dari pamannya itu, Khadijah yang amat dicintainya pun pergi untuk selamanya dari sisinya. Lelaki itu telah kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dalam waktu yang hampir bersamaan, serupa kehilangan kaki untuk melangkah sekaligus punggung untuk bersandar.
Ia memang seorang Nabi. Tetapi ia pun seorang manusia biasa. Kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dan selama ini menjadi tulang-punggung dakwahnya tentu merupakan pukulan yang berat. Tidak ada dukacita yang lebih besar beliau rasakan sejak bertemu Jibril di Gua Hira kecuali saat ini.
Tekanan Quraisy pun menjadi. Cercaan, hinaan dan perlakuan menyakitkan dari mereka siang malam terus diterimanya. Tak henti. Lelaki kinasih itu pun lalu pergi secara diam-diam ke Bani Tsaqif di Thaif untuk sekedar mengobati dukanya. Semula beliau membawa harapan yang besar, mengingat pemuka kabilah mereka masih keluarga dekatnya. Tetapi, apa yang kemudian dialaminya bersama Zaid sungguh jauh panggang dari api. Alih-alih mengharap pelita segera terpetik di daerah sebelah tenggara Makkah yang subur itu. Justru yang diterimanya adalah hujan batu dan sumpah-serapah.
***
Ketika keduanya selesai beristirahat di kebun itu dan kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Makkah, datanglah malaikat Jibril diiringi malaikat penjaga gunung.
"Ya, Rasulullah!" kata Jibril. "Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu dan penolakkan mereka kepadamu. Dia telah mengutus malaikat penjaga gunung supaya engkau perintahkan kepadanya apa yang engkau kehendaki atas kaum Bani Tsaqif itu."
"Ya, Rasulullah." sahut malaikat penjaga gunung. "Jika engkau mau supaya aku melipatkan kedua gunung yang besar ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan."
Gunung Abu Qubais dan Qa'aiqa'an tampak kokoh berhadapan di kejauhan laksana dua raksasa yang berdiri diantara Makkah dan Thaif. Melemparkan kedua raksasa itu ke atas perkampungan Bani Tsaqif akan serupa hujan batu atas kaum Sadum ketika mendustakan Nabi Luth a.s yang mengubur mereka hidup-hidup secara seketika.
"Tidak, Jibril! Tidak!" jawab Nabi tegas. "Bahkan aku berharap mudah-mudahan Allah memberikan kepada mereka keturunan yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun."
***
Serupa apakah cinta sejati itu? Mungkin cinta jika cuma terkatakan hanyalah berarti setengah cinta atau cinta setengah. Jika tidak malah cinta setengah-setengah. Sebagian besar cinta boleh jadi justru hanya tak lain dari indahnya kata. Pada senyum yang tulus, mata yang teduh, tangan yang terulur, bahu yang memikul, kaki yang bergerak ringan, hingga dekap-erat.
Cinta juga terlihat pada kesediaan berbagi menjalani, dan berkorban apa saja demi sesuatu atau seseorang yang dicinta. Barangkali cinta mencapai puncaknya ketika seseorang mau bertaruh nyawa untuk sang kekasih, berkorban hingga tetes darah terakhir demi yang dicinta.
Bagaimana halnya jika seseorang merelakan dirinya terluka oleh yang dicinta dan tak pernah mau memendam dendam untuk suatu saat menuntut balas, jika berkesempatan? Boleh jadi, inilah cinta sejati. Itulah cinta yang nyaris tak bertepi. Seperti kata seorang pujangga,
Ketika cinta memanggilmu,
maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku.
Jika cinta memelukmu, maka dekaplah ia
walau pedang di sela-sela sayapnya
melukaimu.
Rasulullah adalah sosok pribadi dengan cinta yang nyaris tak bertepi itu. Batu dan kerikil yang beterbangan menyayat luka dikulit, darah yang mengalir diiringi sakit, juga cacian, hinaan, ejekan, dan sumpah-serapah yang diterimanya pada peristiwa di Thaif rasanya sudah lebih dari cukup untuk tidak pernah dimaafkan hingga kapanpun. Kalau perlu dituntut balas dengan sepadan perih.
Ia memang manusia biasa. Tetapi bagaimana pun, ia bukanlah manusia biasa seperti kita. kecintaan pada yang dicintainya sungguh tiada berbatas. Dan yang amat dicintainya itu tidak lain adalah kaum kepada siapa beliau diutus. Termasuk kita.
Dan cinta itu ditunjukkannya nyaris sepanjang hayat. Bahkan ketika saat-saat terakhir menjelang beliau pergi, bagian dari yang disebut bibirnya yang mulia adalah ummati, ummati. Umatku, umatku. Sungguh cinta kepada umatnya dibawanya hingga tarikan nafas terakhir.
Begitu pula yang terjadi dijalan antara Thaif dan Makkah itu. Ketika kedua malaikat Allah menawarkan diri melempar kaum Tsaqif dengan dua gunung raksasa sebagai bentuk balasan atas penghinaan itu, Rasulullah SAW hanya menggeleng. Ya, menggeleng. Meski kaumnya memusuhinya. Cintanya kepada kaumnya terlanjur tak bertepi.
***
"Sesungguhnya Allah telah memerintahkan supaya aku menuruti keinginanmu terhadap kaummu, Ya Rasulullah" sambung Jibril, demi mendengar jawaban Nabi, "Semua itu karena perbuatan mereka kepadamu."
Lemparan batu, kerikil dan pasir masih membekas ditubuhnya yang mulia. Peristiwa penghinaan itu masih sangat segar diingatan. Bahkan luka di kedua kaki beliau belum juga mengering. Tetapi beliau justru memanjat doa. "Ya Allah! Tunjukkanlah jalan yang lurus pada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengerti."
Jibril dan malaikat penjaga gunung kemudian sama-sama berkata, "Maha benar Allah yang telah menanamkan dirimu pengasih serta penyayang!."
"Itukah maksud sebuah cinta yang tak bertepi?"
Referensi Bedah Buku:
Bahtiar. 2008. Jejak-jejak Surga Sang Nabi. Jakarta : Lingkaran Pena.
Comments
Post a Comment