Bulat dan Bundar
Pagi masih menyisakan gigit dingin. Bahkan matahari pun baru bangkit di ufuk timur. Sinarnya yang kemilau seperti panah-panah cahaya menusuk sehamparan tanah yang kering.
Sekeliling Masjidil Haram sudah ramai orang. Mereka datang berduyun. Dalam waktu singkat. Abu Jahal telah menghubungi mereka dari pintu ke pintu. Massa pun berkerumun di hadapan lelaki itu. Abu Jahal segera memintanya menceritakan kembali apa yang sudah diceritakan kepadanya dengan penuh semangat. Karena, lelaki itu telah membawa sebuah cerita yang mustahil dan pantas ditertawakan orang banyak.
"Aku semalam pergi ke luar negeri," kata lelaki itu dengan tenangnya. "Aku pergi ke Baitul Maqdis."
"Pergi ke mana Muhammad?" tanya mereka seperti tak percaya dengan telinga sendiri.
"Semalam aku pergi ke Baitul Maqdis," kata lelaki itu mengulang.
"Semalam engkau pergi ke Baitul Maqdis dan pagi ini sudah berada disini di tengah-tengah kita?" sergah mereka seperti tengah mendengar lelaki itu mengatakan melihat matahari terbit dari barat.
"Ya, sungguh! Aku semalam telah pergi ke Baitul Maqdis."
Mereka sama-sama saling berpandangan. Saling bergumam dan berbisik. Bersahutan dan gempar! "Ini sungguh-sungguh perkara yang amat ajaib!" Sebagian orang mengejek. Sebagian mencela dan bertepuk tangan. Sebagian lagi tertawa terbahak-bahak. Cerita lelaki itu serupa dongeng di telinga mereka, yang ajaib dan tak masuk akal.
"Hai, Muhammad! Urusanmu sebelum hari ini adalah urusan yang mudah," seru Muth'im bin Adi di antara kerumunan orang, "kecuali perkataanmu hari ini. Kita bisa berjalan pergi ke Baitul Maqdis dengan berkendara unta yang cepat. Berangkatnya saja sebulan, pulangnya sebulan pula."
Orang-orang mengangguk membenarkan Muth'im. Apalagi sebagian dari mereka pernah pergi ke tempat yang disebutkan lelaki itu.
"Nah, sekarang engkau mengaku telah datang ke tempat itu dan kembali ditempat ini dalam tempo hanya semalam," lanjut Muth'im penuh ejekan. Ia tertawa sinis. "Demi Latta dan Uzza! Sungguh, aku tak akan membenarkanmu dan apa-apa yang kau katakan! Sedikitpun!
Massa berteriak mendukung lelaki terkemuka Bangsa Arab itu. Rasa tak percaya berkobar bagai setumpuk sekam disulut bara api. Merambat. Menjalar seperti dihembus angin musim kering di siang hari yang terik.
"Hai Muth'im" seru seseorang yang terlihat baru saja datang dengan unta. "Amat jeleklah apa yang kau katakan kepada saudara laki-lakimu itu. Kau menghadapkan mukamu kepadanya dengan kebencian dan mendustakannya!"
Muth'im menoleh pada asal suara itu. Seorang lelaki telah menyibak kerumunan. Kini lelaki itu berdiri di hadapannya.
"Apakah engkau percaya bahwa semalam ia telah berangkat ke Baitul Maqdis dan telah kembali sebelum fajar, wahai Abu Bakar?" tanya Muth'im pada laki-laki itu.
Dan laki-laki itu pun menjawab dengan jawaban yang tak pernah terpikirkan olehnya dan mereka yang hadir, "Aku bersaksi bahwa dia telah berkata benar."
***
Manusia memiliki setidaknya lima indera. Dengan kelimanya, ia bisa menangkap segala hal di sekelilingnya, mengumpulkan fakta terkait dengannya, dan dengan bantuan akal yang dikaruniakan padanya, ia kemudian bisa mengidentifikasi adanya sebuah "keberadaan" dan itu membuatnya yakin. Membuatnya percaya.
Oleh karena itu, manusia cenderung percaya kepada sesuatu yang terindera, meski secara fisik tak terlihat. Ia percaya adanya pesawat yang melintas hanya dengan mendengar suaranya dari dalam rumah. Ia percaya akan adanya penghalang di depannya hanya dengan merabanya dalam gelap. Ia pun akan menutup hidung karena dengan indera penciumannya ia percaya akan adanya suatu gas yang membahayakan. Ia percaya sesuatu karena ia terdeteksi secara inderawi dan bisa diterima di akal.
Kepercayaan yang demikian adalah kepercayaan yang memang sudah seharusnya. Kepercayaan yang niscaya. Dan sejatinya, percaya kepada Tuhan, dzat yang memiliki segala Maha itu, ada di jalur ini.
Namun, kepercayaan semacam ini tentu saja rawan. Apa yang terdengar sebagai deru pesawat terbang, boleh jadi berasal dari mesin mobil tua dengan pedal gas yang terinjak penuh. Apa yang teraba sebagai kucing, ternyata musang yang terperangkap didalam lorong yang gelap. Apa yang dianggap Tuhan, ternyata tak lebih hanyalah sebatang pohon rindang berusia ratusan tahun. Jikalau demikian halnya, maka kepercayaan yang hanya sebatas wadag seperti ini berpeluang keliru dan salah sangka.
Kepercayaan yang demikian pun akan tumpul jika dihadapkan pada sesuatu yang tak terindera dan sekaligus tak terjangkau akal. Inilah barangkali yang dalam bahasa agama disebut gaib.
Menariknya, "percaya kepada yang gaib" ternyata merupakan prasyarat seseorang mencapai derajat muttaqin. Apalagi kata gaib dalam ayat diatas disebutkan yang pertama, bahkan sebelum menjalankan shalat. Karena itu, percaya kepada yang gaib tentu menjadi perkara yang maha penting bagi kebertakwaan seseorang.
"(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezekinya yang kami anugerahkan kepada mereka
[Qs. Al-Baqarah (2) :3]
Menariknya, "percaya kepada yang gaib" ternyata merupakan prasyarat seseorang mencapai derajat muttaqin. Apalagi kata gaib dalam ayat diatas disebutkan yang pertama, bahkan sebelum menjalankan shalat. Karena itu, percaya kepada yang gaib tentu menjadi perkara yang maha penting bagi kebertakwaan seseorang.
Ada banyak pengertian tentang istilah gaib. Secara bahasa menurut al-Qurthub, al-ghoibi adalah segala hal sesuatu yang tak terlihat oleh pandangan. Sedangkan gaib dalam konteks ayat diatas adalah segala berita dari Rasulullah SAW yang tidak tercerna akal seperti tanda-tanda hari kiamat, siksa kubur, hidup setelah mati, surga dan neraka.
Percaya kepada Rasulullah SAW dan segala yang disampaikannya, baik perkara yang terindera dan tercerna akal maupun tidak, karenanya menjadi kunci iman seseorang. Dan berita-berita gaib dalam konteks demikian nampaknya menjadi ujian keberimanan paling tinggi. Betapa tidak! Ia harus percaya segala yang tidak terlihat, tidak terjangkau akal, yang keluar dari mulut seseorang utusan-Nya. Jika ia percaya, maka kepercayaan semacam ini merupakan iman yang penuh, utuh, bulat.
Itulah yang dicontohkan Abu Bakar terhadap berita Isra' dan Mi'raj Baginda Nabi Muhammad SAW. Peristiwa yang bagaimana pun menjadi salah satu puncak ujian keberimanan para sahabat kala itu. Tak sedikit yang kemudian keluar dari agama Islam, murtad, karena iman mereka yang masih setengah hati.
Lain halnya dengan Abu Bakar r.a. Ia percaya benar bahwa Allah SWT telah memperjalankan hamba-Nya itu ke sebuah tempat sejauh sebulan perjalanan. Ia percaya Nabi dinaikkan ke puncak langit, sebuah tempat yang tak pernah terbayangkan manusia. Semuanya hanya dalam hitungan semalam saja. Imannya kepada Nabi dan apa yang dibawanya sungguh utuh, bulat, dan bundar. Ia bahkan tetap percaya andai berita yang dibawa Nabi jauh lebih dahsyat dan mustahil dari peristiwa itu.
***
Orang-orang masih bertanya kepada Nabi tentang Baitul Maqdis. Bagaimana bentuk dan bangunannya, rupanya, jumlah pintu dan tiangnya. Semua dijawab Nabi dengan amat tepat hingga seolah Baitul Maqdis seperti dibentangkan di hadapan mereka. "Apakah kamu percaya pada ceritanya, Abu Bakar?" tanya orang-orang. "Benar. Bahkan aku percaya akan apa saja yang disampaikannya meskipun lebih jauh dari hal ini," jawab Abu Bakar.
"Aku percaya tentang langit, perginya dan kembalinya. Mengapa aku tak percaya akan rahmat yang dikaruniakan Allah kepadanya dengan hanya sekedar memindahkan dirinya ke tempat sejauh sebulan perjalanan dalam semalam?"
[Abu Bakar]
Referensi Bedah Buku:
Bahtiar. 2008. Jejak-jejak Surga Sang Nabi. Jakarta : Lingkaran Pena.
Comments
Post a Comment