Hidup Tapi Mati

Tragedi kehidupan bukanlah kematian, melainkan jika kita 
membiarkan jiwa kita mati padahal kita hidup
***
Boleh dikatakan hampir setiap tahun Indonesia tidak luput ditimpa berbagai bencana. Datangnya bertubi-tubi melanda daerah-daerah di tanah air. Mulai dari banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Korban jiwa sudah tidak terbilang lagi jumlahnya. Belum lagi kerugian materiel dan sosial yang ditimbulkan. Ketika kita menyadari bahwa negara kita rawan bencana, bagaimana kemudian kita menyikapinya?


Bila diselidiki apa yang menjadi penyebab bencana, paling tidak ada dua faktor utama. Pertama, murni dikarenakan faktor alam itu sendiri, seperti gunung meletus, gempa dan tsunami. Pada bagian ini manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Secara natural, lempeng bumi akan mengalami pergeseran, ada aktivitas magma dalam perut bumi, dan peristiwa alam lain yang berujung pada terjadinya bencana alam. Dan yang kedua adalah faktor ulah manusia yang merusak keseimbangan alam dengan menebang atau membakar hutan secara serampangan, mendirikan bangunan pada kawasan hijau, membuang sampah sembarangan, dan perbuatan lain yang mengeksploitasi alam secara serampangan.



Baik karena faktor alam maupun ulah manusia, setiap bencana pasti menghadirkan keprihatinan dan luka batin yang mendalam. Karena ketika bencana itu terjadi, korban selalu berjatuhan. Artinya, banyak orang yang kemudian terpaksa kehilangan orang-orang yang dicintainya. Data yang tercantum dalam laporan "The Asia Pacific Disaster Report 2010" yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana (UNISDR) memerinci daftar negara di Asia Pasifik yang mengalami bencana alam selama periode 1980-2009. Berdasarkan peringkat jumlah korban tewas terbanyak, ternyata Indonesia menempati posisi kedua setelah Bangladesh. PBB mendata sedikitnya terdapat 191.164 jiwa yang tewas, sedangkan di Bangladesh tercatat 191.650 jiwa tewas akibat bencana alam dalam kurun waktu tersebut. Jumlah korban yang sangat fantastis.

Sering kita mengatakan bahwa bencana alam adalah ujian. Ujian bagi mereka yang menjadi korban atau yang terkena dampak dari bencana itu. Mungkin ada benarnya. Para korban bencanalah yang mengalami penderitaan itu. Namun, kita lupa bahwa ketika terjadi bencana di daerah mana pun di tanah air kita atau negara lain sekalipun, pada hakikatnya adalah ujian untuk kita semua. Ujian kita sebagai suatu bangsa dan ujian bagi sisi kemanusiaan kita.

Meski kita mampu berdiri bersama dan tegar menghadapi bencana yang terjadi, namun bencana yang terus datang bertubi-tubi pada titik tertentu dapat memberi efek pelemahan. Seakan-akan mengirimkan pessan bahwa ia akan selalu datang untuk menguji seberapa kuat kita mampu bertahan dengan solidaritas kebersamaan kita. Allah SWT berfirman dalam Qs.  Ar-Ruum ayat 41 artinya :
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali 
(ke jalan yang benar)

Ayat tersebut mengingatkan kita bahwa jauh sebelumnya Allah telah memperingatkan manusia. Bencana itu terjadi karena ulah manusia dan dampaknya dirasakan oleh kita juga akhirnya. Bencana yang murni disebabkan oleh faktor alam penting untuk dipikirkan mitigasinya agar keparahan yang ditimbulkan dapat diminimalisir. Tapi, bencana yang ditimbulkan oleh ulah manusia tidak hanya berhenti sampai di situ. Bukan hanya persoalan mitigasi, tapi bagaimana kita mengeliminasi atau sekurang-kurangnya meminimalisasi penyebab terjadinya.


Mengingatkan kita akan hukum sebab akibat, kita akan menuai apa yang kita tabur. Atau ibarat bermain bola karet, seberapa kuat kita lemparkan bola itu ke dinding, maka sekuat itu pula bola akan memantul kembali ke arah kita. Bila begitu hukumnya, kira-kira siapa yang akan tergerus dayanya dalam situasi semacam itu? 

Dan itu hanya bisa kita lakukan bila kita mengubah perilaku negatif kita terhadap alam, yang diawali dengan mengubah mindset. Karena kita sendirilah yang menjadi penyebabnya. Kita terlalu tamak dalam mengeksploitasi alam sehingga lupa menghormati dan mengembalikan hak-hak alam yang senantiasa menghendaki keselarasan dan keseimbangan.

Bila pesan alam melalui bencana itu tidak mengubah perilaku kita, artinya kita sudah menjadi bebal. Kita tak lagi mampu mengambil hikmah dari suatu peristiwa yang terjadi. Padahal sebagaimana Allah nyatakan dalam ayat diatas, manusia merasakan akibat dari kerusakan yang mereka perbuat agar mereka berintrospeksi dan melakukan hal yang benar. Untuk apa? Bukan untuk Allah. Melainkan untuk kita sendiri agar merasakan kenikmatan dan kedamaian hidup di bumi.

Bila pesan alam melalui bencana itu belum mengubah perilaku kita, artinya kita membiarkan dan sedang mengkreasi bencana berikutnya. Artinya kita berkontribusi atas jatuhnya korban jiwa berikutnya. Padahal perubahan perilaku itu tidak mesti sesuatu yang bersifat masif. Perubahan perilaku bisa dimulai dari hal yang ringan dan dimulai dari diri kita. Misalnya hal yang paling sederhana, membuang sampah pada tempatnya. Perilaku simpel itu pun masih menjadi PR besar untuk kita.


Seringkali kita jumpai kendaraan yang tergolong mewah, yang menyiratkan  tingkat pendidikan dan kemakmuran yang bersangkutan, dengan seenaknya menurunkan kaca mobilnya dan membuang sampah di tengah jalan. Bukankah perilaku seperti itu menimbulkan keprihatinan kita? Berarti kita bisa membuat kesimpulan bahwa ternyata tidak ada korelasi positif antara pendidikan dan perubahan perilaku.

Bukankah itu indikasi telah hilangnya kepedulian manusia terhadap lingkungan? Tidak menyadari bahwa diri sendiri sebenarnya berkontribusi terhadap bencana yang terjadi. Tidak mengambil hikmah dari kesalahan masa lampau. Ironisnya lagi ketika bencana menimpa orang lain, maka seketika itu juga manusia menajdi sibuk menduga-duga penyebab bencana itu. 

Menyimpulkan bahwa bencana itu adalah azab yang pantas para korban dapatkan sebagai balasan atas dosa-dosa yang mereka lakukan. Di saat orang lain sibuk melakukan aksi kemanusiaan untuk segera menolong korban bencana, manusia dalam kelompok ini masih berkutat dengan segala prasangka dan sikap pasifnya. 

Bukti hilangnya rasa sayang dan membekunya nurani terhadap sesama, seakan-akan ia pun telah mati sebagaimana matinya para korban bencana. Menguti ucapan Norman Cousins, "Tragedi kehidupan bukanlah kematian, melainkan jika kita membiarkan jiwa kita mati padalah kita hidup." Inilah bencana yang lebih dahsyat dari bencana yang disebabkan oleh alam.



Referensi Bedah Buku :
Wardana, Wahyu Kun. (2014). Zoom In, Zoom Out Your Views. Memaknai Peristiwa, Menebar Inspirasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Tentang Macam-macam Klien dalam Asuhan Kebidanan.

Menjaga Amanah