Teladan Penting di Situasi Genting

Hadiah yang tulus dari sahabat terdekat adalah bukti cinta yang suci dan bersih, tanpa pamrih. Tetapi, ketika hal demikian terjadi pada saat situasi yang kritikal, bisa berpotensi menjadi batu sandungan di kemudian hari

***

Hari itu Sabtu, akhir bulan Shafar, tahun ke-13 setelah kenabian.
Darun Nadwah hari itu begitu riuh. Seratus dedengkot kepala kabilah Arab di kota Makkah dan sekitarnya hadir berkumpul. Tak ada satu kabilah pun yang tak datang kecuali mengutus perwakilannya. Ini adalah majelis terbesar yang mewakili suara seluruh kabilah Arab. Karena bagaimana pun, tidak ada agenda pembicaraan hari itu kecuali mencari cara bagaimana membungkamkan lelaki Bani Hasyim itu untuk selama-lamanya.

Pada saat yang sama, seorang lelaki berjalan terburu-buru ke arah sebuah rumah. Ia menutupi muka dan kepalanya dibawah terik matahari yang membakar. Ketika sampai di depan pintu, lantas dengan suara keras, ia memanggil-manggil sahabatnya itu. 

"Wahai Abu Quhafah," kata lelaki itu begitu Abu Bakar r.a sang pemilik rumah, menyongsongnya dengan bergegas. Wajah lelaki itu masih diliputi keheranan, karena Rasulullah SAW datang tidak pada saat seperti biasanya. "Sesungguhnya Allah telah mengizinkan aku keluar dan hijrah ke Madinah."

Dengan berseri, Abu Bakar menyahut, "berkawan dengan saya, ya Rasulullah?" Lelaki itu pun menjawab, "Ya, dengan izin Allah." Tiba-tiba Abu Bakar menangis tersedu. Betapa ia sudah menantikan hari itu, hari ketika Allah mengizinkan berhijrah bersama lelaki yang dicintainya itu ke negeri Yatsrib di utara. 

Seperti tersadar, tiba-tiba Abu Bakar berkata, "Ya Rasulullah! Ambillah salah satu dari kedua ekor unta saya untuk berkendaraan engkau." 
"Tidak, ya Abu Bakar," jawab Rasulullah. "Aku tidak akan mengambilnya kecuali dengan membelinya lebih dulu darimu seharga ketika engkau membelinya." Lelaki kinasih itu lantas memilih salah satu dari kedua unta itu dan membelinya seharga 800 dirham. Ia lalu bergegas kembali ke rumahnya.

***

Matahari mulai tenggelam di balik selubung cakrawala. Terang berangsur bertukar dengan gelap. Dan Makkah pun segera larut dalam dekapan malam. 

Serombongan pemuda terpilih dipimpin Khalid bin Walid segera datang ke rumah Rasulullah. Mereka bersenjata lengkap di tangan. Lalu berbondong seratus orang kepala Kabilah Quraisy mengiringi para pemuda itu. Mereka lalu menyebar, mengempung rapat kediaman lelaki agung itu dari depan, belakang kiri dan kanan. 

Tak ada celah yang tersisa untuk dirinya lewat kecuali berpuluh pedang siap menebasnya hingga jatuh bergelimpang. 

Didalam rumah, Rasulullah dengan suara perlahan meminta Ali bin Abi Thalib yang telah hadir untuk tidur di tempat tidurnya. "Tidurlah di tempat tidurku berselimutkan kain hadramiku, ya Ali!" kata lelaki itu. "Tidak akan mengenai dirimu sesuatu yang tidak kau sukai dari mereka."

Pemuda belia itu mengangguk, lantas berbaring di tempat tidur Rasulullah dan berselimutkan kain hijau dari Hadramaut. Tanpa ragu. Padahal seratus pedang terhunus haus darah di luar rumah siap menerkamnya sewaktu-waktu.  Tugas lain dari Rasulullah masih menantinya esok hari untuk mengembalikan barang-barang yang dititipkan orang kepada beliau ke masing-masing pemiliknya. 

Sementara itu, Abu Jahal berteriak-teriak dari luar rumah. "Muhammad menyangka jika kita mengikutinya, kita akan menjadi penguasa atas Bangsa Arab dan menjadi raja atas bangsa-bangsa lain.  Jika kita mati, kita akan dihidupkan kembali, lalu dimasukkan ke dalam surga. Di sana kita akan diberi makanan yang enak, perempuan yang cantik-cantik, pakaian dan perhiasan yang elok Dan jika kita tidak mengikutinya, kita akan dibunuh, dipotong-potong seperti kambing, dan diperlakukan sebagai budak belian oleh dirinya. Sesudah mati, kita akan dibakar dengan api yang panasnya luar biasa didalam neraka!"

"Ya, aku berkata demikian," jawab lelaki kinasih itu dari dalam rumah. "Kaulah salah seorang diantara mereka!"

Rasulullah lantas keluar rumah dengan perlahan. Ia mengambil segenggam pasir, lalu menaburkannya ke atas kepala para pemuda terpilih yang mengepungnya sambil membaca, "Dan kami adakan di hadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak dapat melihat." (Qs. Yasin [36] :9).

***

Suasana menjelang hijrah Rasulullah SAW adalah saat genting. Betapa tidak? Hampir setiap saat, jiwa Rasulullah selalu terancam. Sejak tahu bahwa kaum muslimin secara berangsur dan sembunyi-sembunyi hijarah ke Yastrib, maka kaum musyirikin Quraisy berpendapat bahwa tidak ada jalan lain untuk menghentikan dakwah ini kecuali membinasakan Rasulullah SAW. Maka, setiap saat mereka mengintai Nabi, siang malam dengan maksud jika dapat menjumpai di suatu tempat yang sunyi,  lelaki itu hendak dibunuh. 

Pada saat dakwah Nabi kepada orang-orang yang berjanji di Mina misalnya, beliau keji oleh mereka, terutama Abu Lahab. Bahkan Allah sampai menurunkan ayat, "... Allah memelihara kamu (Muhammad) dari gangguan manusia." Qs. Al-Maidah [5]:67).

Bahkan malam ketika Rasulullah hendak hijrah ke Madinah, sepasukan pemuda perkasa dan para ketua kabilah musyirikin Makkah mengepung rumah beliau dengan senjata terhunus. Apalagi kalau bukan mengincar nyawanya? Bukankah ini adalah keadaan genting yang jelas-jelas mengancam jiwa.

Tetapi, itulah bedanya Rasulullah SAW. Pada keadaan terjepit itu, beliau menolak pemberian gratis Abu Bakar berupa seekor unta sebagai tunggangan. Padahal Abu Bakar adalah sahabat dekatnya yang terpercaya, kepada siapa dirinya biasa bertukar pikiran. Sangatlah wajar jika pada situasi seperti itu beliau mendapatkan bantuan. Namun, kenyataannya tidak. Beliau hanya mau menerima unta itu dengan jalan jual-beli dan bukan semata hadiah. Itu berarti, Nabi memikirkan efek jangka panjang dalam dakwah, jika saja ia menerima hadiah unta itu dari Abu Bakar, meski lelaki itu adalah sahabat dekatnya sekalipun.

Hadiah, bagaimanapun, bisa memicu perasaan keharusan untuk membalas budi, justru karena ia adalah something voluntarily transferred by one person to another without compensation. Sesuatu yang secara sukareka diberikan seseorang pada orang lain tanpa kompensasi. Dan itu sungguh tidak baik untuk jalannya dakwah.

Beliau pun masih sempat berpesan kepada Ali bin Abi Thalib sebelum pergi untuk mengembalikan barang-barang yang dititipkan orang kepadanya. Ini adalah akhlak yang luar biasa. Seseorang yang tajam pedang sudah teracung di lehernya masih sempat menunaikan amanah yang diberikan orang kepadanya. Andai saja tak dikembalikan, barangkali mereka yang dititip sesuatu kepada beliau pun tidak akan menuntut macam-macam karena sangat maklum dengan keadaan beliau. 

Ditengah merebaknya kasus-kasus gratifikasi (istilah hadiah di zaman modern ini) yang menimpa banyak pejabat saat ini, juga banyaknya amanah yang diabaikan dengan alasan keterpaksaan atau keadaan darurat, maka teladan Rasulullah SAW, saat hijrah ke Madinah di atas layak untuk diambil sebagai ibrah yang berarti.

***

Malam telah bergulir larut. Tiba-tiba seorang lelaki tua datang ke kerumunan pengepung di luar rumah itu, yang bahkan semuanya telah tertidur di tempatnya masing-masing. 

"Wahai kalian semua!," serunya lantang. "Kalian di sini sedang menunggu apa?" Mereka terperanjat dan geragapan bangun dari tidurnya. Sebagian dari mereka menjawab, "Kami sedang menunggu Muhammad!"

"Mengapa kalian enak-enakan tidur dengan pulasnya?" sergah lelaki asing itu. "Kalau kalian menanti Muhammad di sini, ia tidak akan kalian dapati!" 

"Mengapa begitu? Bukankah Muhammad masih di dalam rumah?
"Oh, betapa kasihannya kalian ini! Muhammad sudah pergi dari tadi!"
"Bagaimana mungkin? Kami tahu Muhammad masih tidur di dalam rumah, mengapa kau bilang sudah pergi?"
Lelaki tua itu berkata, "Kalau kalian tidak percaya, cobalah lihat kepala kalian. Siapakah yang menaburkan pasir diatas kepala kalian masing-masing?"

Para pemuda perkasa itu meraba kepalanya, saling memandang satu sama lain, dan menemukan butiran pasir di atas kepalanya masing-masing. "Kurang ajar!" sungut mereka. Lalu mereka bergegas mengetuk rumah Nabi dengan bertubi dan memanggil dengan kerasnya. "Muhammad!  Muhammad! Muhammad!"

Pintu rumah itu pun kemudian dibuka dari dalam. Dengan suara lembut, seorang pemuda yang kemudian muncul di balik pintu bertanya, "Ya, Ada apa?"

Para pengepung bersenjata lengkap itu terperanjat. "Mana Muhammad? Mana Muhammad, ya Ali!" Pemuda itu menjawab, "Entah, aku tidak tahu." 
"Jadi, siapakah yang tidur di tempat tidur Muhammad dari tadi?
"Aku."


Referensi Bedah Buku:
Bahtiar. 2008. Jejak-jejak Surga Sang Nabi. Jakarta : Lingkaran Pena.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Tentang Macam-macam Klien dalam Asuhan Kebidanan.

Menjaga Amanah