Jebakan Waktu Luang
Sering kita mendengar seseorang berucap, "Maaf, saya tidak punya waktu," saking sibuknya ia dengan semua kegiatan yang sudah terjadwal sehingga untuk meminta waktunya, meski sesaat saja, seperti tak tersisa. Waktu baginya sangatlah mahal. Tapi ada juga orang yang memiliki banyak waktu luang dan tidak tahu bagaimana memanfaatkan waktu itu. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk bersantai. Ketika ditunjukkan pekerjaan yang sebaiknya dilakukan, ia justru mengeluh karena bakal merepotkan dirinya saja. Waktu baginya sangatlah murah.
Ada orang dengan waktu yang sedikit, mampu mengerjakan banyak hal secara produktif. Tapi ada orang yang terlihat memiliki banyak waktu luang, tak mampu berbuat dan menghasilkan apa-apa. Kondisi dua kutub yang berlawanan ini terjadi karena masing-masing memberikan persepsi yang berbeda atas waktu. Melihat waktu luang sebagai peluang emas yang harus segera diraih, atau kesempatan yang akan selalu berulang.
Sebuah anekdot tentang seorang ibu pedagang sayuran yang setiap hari ke pasar menjual sayurannya. Suatu ketika, seorang pembeli yang punya hajatan mau memborong semua dagangan si ibu penjual. Responnya mengejutkan. Alih-alih gembira karena dagangannya di borong, si ibu itu malah berkata dengan nada lesu, "Maaf, Pak... kalau Bapak beli semua sayuran saya, besok saya jualan apa?'. Jadi, ibu itu ke pasar sebenarnya bukan untuk melariskan dagangan, tapi bagaimana rutinitas ke pasarnya bisa tetap berjalan.
Di situlah letak tantangan sebenarnya. Bila mereka tidak pandai menghargai waktu, maka keluangan waktu itu akan berlalu begitu saja tanpa hasil yang bermanfaat. Bahkan ketiadaan pelayanan bisa dianggap sebagai ketiadaan pekerjaan. Tidak ada lagi yang perlu dilakukan. Mengobrol saja sepanjang hari, atau meninggalkan kantor untuk mencari pekerjaan lain yang tidak terkait dengan pekerjaan. Bahkan untuk pegawai yang bekerja di sebuah perusahaan yang kelihatan sibuk saja, ternyata berdasarkan studi, hanya 31% waktu mereka dihabiskan dalam rapat dan waktu kerja produktif mereka kurang dari 60%.
Memang dibutuhkan kekuatan sebuah visi atau cita-cita agar bisa melihat betapa berharganya waktu. Artinya, dengan visi itu, seseorang memiliki rencana kehidupan. Berapa banyak waktu di masa lampau yang termanfaatkan dengan baik dan berapa banyak yang berlalu begitu saja. Berapa banyak waktu yang tersisa dan berapa besar peluang untuk meraih yang dicitakan sebelum semuanya terlambat. Rasulullah SAW menasihati kita untuk memanfaatkan waktu muda sebelum datang waktu tua, waktu sehat sebelum datang waktu sakit, waktu luang sebelum datang waktu sibuk, waktu kaya sebelum datang waktu fakir, dan hidup sebelum mati.
Tua, sakit, sibuk, fakir, dan mati adalah situasi saat seseorang kehilangan hak opsinya dalam menjalani kehidupan. Karena situasi tersebut mengurangi daya atau bahkan meniadakan daya bila kematian menjemput. Apalagi yang bisa kita lakukan? Yang tersisa adalah penyesalan. Menyesal kenapa ketika muda tidak mengisi hari-hari dengan kegiatan produktif, menyesal kenapa ketika waktu luang tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri, menyesal kenapa ketika kaya tidak menolong orang yang membutuhkan, dan menyesal kenapa ketika hidup tidak meninggalkan karya yang bernilai amal saleh.
Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya yang fenomenal berjudul La Tahzan tahun 2005 mengingatkan, "Bila pada suatu hari kita mendapatkan diri kita menganggur tanpa kegiatan, bersiaplah untuk bersedih, gundah, dan cemas. Sebab, dalam keadaan kosong itulah pikiran kita akan menerawang kemana-mana, mulai dari mengingat kegelapan masa lalu, menyesali kesialan masa kini, hingga mencemaskan kelamnya masa depan yang belum tentu kita alami. Itulah yang akan membuat pikiran kita tak terkendali dan mudah lepas kontrol. Maka dari itu, mulailah untuk mengerjakan amalan-amalan yang bermanfaat akan menjadi lebih baik daripada terlarut dalam kekosongan yang membinasakan. Singkatnya, membiarkan diri dalam kekosongan itu sama halnya dengan bunuh diri dan merusak tubuh dengan narkoba." Semoga kita tidak terjebak oleh waktu luang dengan membiarkan berlalu tanpa makna. Dan untuk memberikan makna pada waktu, semua tergantung pada diri kita sendiri.
"Ketika itu menyangkut kebaikan, kerjakanlah segera. Jangan pernah menundanya. Agar niat baik menjadi amal, maka yang terbaik adalah melakukannya selagi ada waktu dan kesempatan, sebelum semuanya terlambat dan menjadi penyesalan"
Referensi Bedah Buku :
Wardana, Wahyu Kun. (2014). Zoom In, Zoom Out Your Views. Memaknai Peristiwa, Menebar Inspirasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Comments
Post a Comment